MAKALAH KULTUR JARINGAN
BIDANG PERTANIAN
Ditujukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Biologi Terapan
I.
PENDAHULUAN
Ciri-ciri makhluk hidup
salah satunya adalah mampu bereproduksi sehingga menghasilkan keturunan yang
akan melestarikan jenisnya di masa depan. Setiap makhluk hidup melakukan
reproduksi dengan berbagai cara. Dapat dengan cara seksual yaitu melibatkan dua
tipe sel kelamin yang berbeda sehingga terjadilah fertilisasi membentuk zigot,
dan zigot selanjutnya akan tumbuh menjadi keturunan yang fertil. Selain itu
terdapat pula cara reproduksi aseksual yaitu tidak melibatkan sel kelamin.
Reproduksi aseksual
atau vegetatif ini kebanyakan dilakukan oleh tanaman dan oleh beberapa hewan
primitif (masih sederhana) tapi tidak termasuk manusia. Reproduksi aseksual
pada tumbuhan merupakan proses perbanyakan vegetatif dengan meggunakan organ
vegetatif misalnya talus, rhizoma, bulbus atau umbi, stek batang atau akar,
menggunakan daun dan cangkok. Perbanyakan vegetatif ini baik pada organisme uniseluler
maupun multiseluler (lumut, paku, dan tumbuhan berbiji) dihasilkan organisme
baru yang serupa (L. Hartanto Nugroho, dkk, 2004).
Pada bidang pertanian, perbanyakan tumbuhan atau
perbanyakan bibit tumbuhan secara besar-besaran kadang–kadang sangat
diperlukan. Namun perbanyakan tumbuhan dengan teknik konvensional seringkali
menghadapi kendala teknis, lingkungan maupun waktu (Tribowo Yuwono, 2006).
Sebagai contoh perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji memerlukan waktu
yang relatif lama dan seringkali hasilnya tidak seperti tanaman induknya.
Kendala lain yang juga sering muncul adalah gangguan alam, baik yang disebabkan
oleh jasad hidup, misalnya hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan yang
dapat menggangu keberhasilan perbanyakan tanaman di lapangan. Sejalan dengan
makin berkembangnya ilmu pengetahuan terutama bidang teknologi, kendala-kendala
tersebut dapat diatasi antara lain
melalui teknik kultur jaringan.
Untuk mengetahui lebih
jelas tentang pengertian kultur jaringan, tujuan dan manfaat, tahapan kerja,
kekurangan dan keuntungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses kultur jaringan,
maka kami membuat makalah ini.
II.
ISI
A. Pengertian
Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode
untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel,
jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga
bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman
lengkap kembali. Kultur jaringan atau biakan jaringan sering juga disebut kultur
in vitro yakni teknik pemeliharaan
jaringan atau bagian dari individu secara buatan yang dilakukan di luar
individu yang bersangkutan. In vitro
berasal dari bahasa Latin yang artinya "di dalam kaca". Jadi Kultur in vitro dapat diartikan sebagai bagian jaringan
yang dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau
material tembus pandang lainnya. Secara teoritis teknik kultur jaringan dapat
dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan, hewan, bahkan juga manusia,
karena berdasarkan teori Totipotensi Sel (Total
Genetic Potential), bahwa setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot
yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi individu lengkap.
Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama
dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut, setiap sel berasal dari
satu sel.
Menurut Suryowinoto (1991), kultur
jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue
culture, weefsel cultuus atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya,
jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama.
Maka, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi
tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya.
Kultur jaringan akan lebih besar
persentase keberhasilannya jika menggunakan jaringan meristem. Jaringan
meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang
selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pektin,
plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang menggunakan
jaringan untuk kultur jaringan. Sebab jaringan meristem keadaannya selalu
membelah sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang membantu pembelahan.
Usaha pengembangan kultur jaringan
merupakan usaha perbanyakan vegetatif tanaman yang dapat dikatakan masih baru.
Namun, saat ini sudah banyak sekali penemuan – penemuan tentang ilmu
pengetahuan kultur jaringan dalam bidang pertanian, biologi, farmasi,
kedokteran dan sebagainya. Di bidang farmasi, teknik kultur jaringan sangat
menguntungkan karena dapat menghasilkan metebolit sekunder untuk keperluan obat
– obatan dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat.
Pada prinsipnya kultur jaringan
merupakan dua kegiatan utama. Pertama, yaitu mengisolasi atau memisahkan bagian
tanaman dari tanaman induk. Kedua, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan bagian
tanaman tersebut di dalam media yang kondisinya steril dan mampu mendorong
pertumbuhan bagian tanaman menjadi tanaman yang sempurna.
Contoh Kultur
Jaringan Tanaman Yang Telah Dilakukan :
Tanaman jahe (Zingiber
officinale), touki (Angelica
acutiloba), kapolaga (Eletaria
cardamomum), Mentha sp., Geranium
(Pelargonium graveolens dan P.tomentosum), panili (Vanilla planifolia), abaka (Musa textilis), nilam (Pogostemon cabin), rami (Boechmeria nivea), lada (Piper nigrum), pyrethrum (Chrysanthemum cinerarifolium), gerbera (Gerbera jamesonii), seruni (Chrysanthemum morifolium), pulasari (Alyxia steliata), pule pandak (Rauwolfia serpentina), temu putri (Curcuma petiolata), purwoceng (Pmpinella pruatjan), inggu (Ruta angustifolia), daun dewa (Gynura procumbens), beberapa tanaman
pisang (Musa sp.) dan jati (Tectona grandis).
B. Sejarah
Singkat Kultur Jaringan
Prinsip
dasar kultur jaringan berpegangan pada teori sel dari Schwan dan Schleiden pada
tahun 1838. Teori sel atau yang lebih dikenal dengan teori totipotensi
menyatakan bahwa setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan
perangkat fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi
tanaman utuh jika kondisinya sesuai. Teori ini menjadi dasar dari spekulasi
Haberlandt pada awal abad ke-20 yang menyatakan bahwa jaringan tanaman dapat
diisolasi dan dikultur hingga berkembang dengan tanaman normal dengan melakukan
manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya. Namun teknik kultur
jaringan yang diungkapkan pada teori tersebut mengalami kegagalan. Tetapi pada
tahun 1907-1909 Harrison, Burrows dan Carrel berhasil mengkulturkan jaringan
hewan dan manusia secara in vitro (Zulkarnain,
2009).
Kultur jaringan tanaman pertama kali berhasil dilakukan oleh
White pada tahun 1934 yakni kultur akar tanaman tomat. Pada tahun 1939, White
melaporkan keberhasilannya dalam membuat kultur kalus dari wortel (animasi
kultur kalus wortel) dan tembakau. Pada tahun 1957, tulisan penting Skoog dan
Miller dipublikasikan dimana mereka menyatakan bahwa interkasi kuantitatif
antara auksin dan sitokinin menentukan tipe pertumbuhan dan morfogenik yang
akan terjadi. Penelitian mereka pada tembakau mengindikasikan bahwa
perbandingan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi pengakaran,
sedangkan rasio sebaliknya akan menginduksi pembentukan tunas. Akan tetapi pola
respon ini tidak berlaku universal (Tri
Hanggono A.,2009).
Temuan penting lainnya adalah hasil penelitian Morel tentang
perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan pada tahun 1960, dan penggunaan
yang meluas media kultur dengan konsentrasi garam mineral yang tinggi,
dikembangkan oleh Murashige dan Skoog tahun 1962.
Pierik tahun 1997 mengemukakan beberapa peristiwa penting
dalam sejarah perkembangan teknik kultur jaringan hingga dekade 1980-an, yaitu:
Tahun
|
Peristiwa
|
1892
|
Ditemukan fenomena sintesis senyawa-senyawa pembentuk
organ yang didistribusikan secara polar di dalam tanaman.
|
1902
|
Usaha pertama aplikasi kultur jaringan tanaman.
|
1904
|
Usaha pertama aplikasi kultur embrio sejumlah tanaman Cruciferae.
|
1909
|
Fusi protoplasma tanaman namun produk yang dihasilkan
mengalami kegagalan untuk hidup.
|
1922
|
Perkecambahan in
vitro biji anggrek secara asimbiosis dan kultur in vitro ujung akar.
|
1925
|
Aplikasi kultur embrio pada tanaman Linum hasil silang antarspesies.
|
1929
|
Kultur embrio Linum untuk
menghindari inkompatibilitas persilangan.
|
1934
|
Kultur in vitro jaringan
kambium dari sejumlah tanaman pohon dan perdu mengalami kegagalan karena
tidak adanya keterlibatan auksin dan keberhasilan kultur akar tanaman tomat.
|
1936
|
Kultur embrio sejumlah tanaman gymnospermae.
|
1939
|
Keberhasilan menumbuhkan kultur kalus secara kontinu.
|
1940
|
Kultur in vitro
jaringan cambium dari tanaman Ulmus untuk
mempelajari pembentukan tunas adventif.
|
1941
|
Air kelapa (yang mengandung faktor pembelahan sel) untuk
pertama kalinya digunakan pada kultur embrio tanaman Datura dan kultur in vitro jaringan
tumor crown-gall.
|
1944
|
Untuk pertama kalinya kultur in vitro tembekau digunakan pada penelitian pembentukan tunas
adventif.
|
1945
|
Budidaya potongan tunas tanaman Asparagus secara in vitro.
|
1946
|
Untuk pertama kalinya diperoleh tanaman Lupinus dan Tropaeolum dari kultur pucuk.
|
1948
|
Pembentukan akar dan tunas adventif tanaman tembakau
ditentukan oleh rasio auksin : adenine.
|
1950
|
Regenerasi organ tanaman dari jaringan kalus Sequoia sempervirens.
|
1952
|
Aplikasi sambung mikro (micrografting) untuk pertama kalinya.
|
1953
|
Produksi kalus haploid tanaman Ginkgo biloba dari kultur serbuk sari.
|
1954
|
Pengkajian terhadap perubahan – perubahan kariologi dan
sifat – sifat kromosom pada kultur endosperm tanaman jagung.
|
1955
|
Penemuan kinetin yaitu suatu hormone perangsang pembelahan
sel.
|
1956
|
Realisasi pertumbuhan kultur di dalam sistem multiliter
untuk menghasilkan metabolit sekunder.
|
1957
|
Ditemukannya pengaturan pembentukan organ (akar dan pucuk)
dengan mengubah rasio antara auksin dan sitokinin.
|
1958
|
Regenerasi embrio somatic secara in vitro dari jaringan nuselus tanaman Citrus ovules dan regenerasi
proembrio dari massa kalus dan suspensi sel tanaman wortel.
|
1959
|
Publikasi buku pegangan mengenai kultur jaringan tanaman
untuk pertama kali.
|
1960
|
·
Keberhasilan pembuahan in
vitro pada Papaver rhoeas untuk
pertama kalinya.
·
Degradasi dinding sel secara enzimatik untuk memperoleh
protoplas dalam jumlah besar.
·
Perbanyakan vegetatif tanaman anggrek melalui kultur
meristem.
·
Filtrasi suspensi sel dan isolasi sel tunggal.
|
1962
|
Pengembangan medium dasar Murashige dan Skooge (MS).
|
1964
|
Produksi tanaman Datura
haploid dari kultur serbuk sari untuk pertama kalinya dan regenerasi
tunas dan akar pada jaringan kalus tanaman Populus tremuloides.
|
1965
|
Induksi pembungaan secara in vitro pada tanaman
tembakau dan diferensiasi tanaman tembakau dari isolasi sel tunggal pada
kultur mikro.
|
1967
|
Induksi pembentukan bunga pada Lunaria annua dengan vernalisasi secara in vitro dan produksi tanaman haploid dari kultur serbuk sari
tanaman tembakau (Nicotiana tabacum).
|
1969
|
Analisis kariologi tanaman yang diregenerasikan dari
kultur kalus tembakau dan keberhasilan isolasi protoplas dari kultur suspense
Haplopappus gracilis untuk pertama
kalinya.
|
1970
|
·
Seleksi mutan biokimia secara in vitro.
·
Pemanfaatan kultur embrio untuk menghasilkan barley
monoploid.
·
Keberhasilan peleburan protoplas untuk pertama kalinya
|
1971
|
Keberhasilan regenerasi tanaman dari kultur protoplas
untuk pertama kalinya.
|
1972
|
Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada
dua spesies Nicotiana.
|
1973
|
Sitokinin diketahui mampu memecahkan dormansi pada eksplan
jaringan kapitulum tanaman Gerbera.
|
1974
|
·
Induksi percabangan aksilar oleh sitokinin pada eksplan
tunas tanaman Gerbera.
·
Regenerasi Petunia
hybrid haploid dari kultur protoplas.
·
Diketahui bahwa peleburan protoplas haploid dapat
dilakukan sehingga mendukung hibridisasi.
·
Biotransformasi pada kultur jaringan tanaman.
·
Penemuan Ti-plasmid pada Agrobacterium sebagai senyawa penginduksi pembentukan tumor.
|
1975
|
Seleksi positif terhadap kultur talus tanaman jagung yang
resisten terhadap Helminthosporium
maydis.
|
1976
|
·
Inisiasi pucuk dari eksplan tunas tanaman anyelir yang
berasal dari penyimpanan pada suhu rendah (kreopreservasi).
·
Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada
tanaman Petunia hybrida dan P.parodii.
·
Sintesis dan perombakan oktopin dan nopalin diketahui
dikontrol secara genetis oleh Ti-plasmid Agrobacterium
tumefaciens.
|
1977
|
Keberhasilan integrasi DNA Ti-plasmid dari Agrobacterium tumefaciens pada
tanaman.
|
1978
|
Hibridisasi somatik tomat dan kentang.
|
1979
|
Pengembangan prosedur co-cultivation
untuk transformasi protoplas tanaman dengan Agrobacterium.
|
1980
|
Pemanfaatan sel untuk biotransformasi digitoksin menjadi digoksin.
|
1981
|
Pengenalan istilah variasi somaklon atau keragaman
somaklon dan isolasi auksotrof melalui skrining berskala besar terhadap
koloni sel yang diperoleh dari protoplas haploid tanaman Nicotiana plumbaginifolia dengan perlakuan mutagen.
|
1982
|
Protoplas dapat bergabung dengan DNA telanjang sehingga
memungkinkan untuk dilakukannya transformasi dengan isolasi DNA.
|
1983
|
Hibridisasi sitoplasma antargenus pada tanaman bit dan Brassica napus.
|
1984
|
Trasformasi sel tanaman dengan DNA plasmid.
|
1985
|
Infeksi dan transformasi potongan daun dengan Agrobacterium tumefaciens dan
regenerasi tanaman yang mengalami transformasi.
|
Sumber: Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.
Untuk mempelajari teknik dasar
kultur jaringan diperlukan pemahaman dasar tentang anatomi, histologi,
fisiologi sel, dan prinsip dasar biokimia. Perkembangan ilmu biologi molekular
menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara biologi molekular dan kultur
jaringan. Saling bergantungnya perkembangan masing-masing teknologi ini sukar
untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi kultur jaringan dan mulai
berkembangnya teknologi biologi molekular. Perkembangan teknologi kultur
jaringan kini banyak diarahkan untuk dapat memberikan simulasi proses biologis
yang terjadi pada tubuh manusia, sehingga tidak hanya digunakan untuk
mempelajari proses atau mekanisme yang terjadi pada sel, namun juga interaksi
yang terjadi antara sel dan lingkungan yang dapat diatur menyerupai berbagai
keadaan fisiologis ataupun patologis (Tri
Hanggono A.,2009).
C. Tujuan
dan Manfaat Kultur Jaringan
Kultur jaringan
saat ini memiliki banyak tujuan dalam pemanfaatannya. Semakin hari tujuan
dilakukannya kultur jaringan ini semakin berkembang. Berikut beberapa tujuan
dari kultur jaringan dalam pemanfaatannya (Zulkarnain, 2009):
1. Menyediakan
bibit bebas virus/penyakit
Banyak
virus yang tidak menampakkan gejalanya, namun bersifat laten, dan akan dapat
mengurangi vigor, kualitas dan kuantitas produksi. Virus dalam tanaman induk
merupakan masalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman hortikultura secara
konvensional. Morrel & Martin (1952) menemukan bahwa pada daerah meristem apikal,
ternyata kandungan virusnya paling rendah bahkan tidak ada. Hal ini mungkin
karena virus bergerak melalui sistem pembuluh, sedang daerah tersebut belum ada
sistem pembuluhnya, selain itu aktivitas metabolisme tinggi pada daerah
tersebut tidak mendukung replikasi virus, juga konsentrasi auksin yang tinggi
menghambat multiplikasi.
2. Membantu
program pemuliaan tanaman
Dengan
kultur jaringan dapat membantu program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan
tanaman yang lebih baik melalui : Keragaman Somaklonal, Kultur Haploid, Embryo Rescue, Seleksi In Vitro, Fusiprotoplas, Transformasi
Gen/Rekayasa Genetika Tanaman dll.
3. Membantu
proses konservasi dan preservasi plasma nutfah
Konservasi
in vivo dalam bentuk penyimpanan biji
dan tanaman hidup (Kebun Raya). Preservasi in
vivo dengan cara menyimpan biji. Penyimpanan secara kultur jaringan dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal (minimal growth)
dan kriopreservasi.
Untuk
biji ortodoks dalam ruang dengan temperatur dan kelembaban yang terkendali.
Masalahnya pada biji rekalsitran (apalagi yang ukuran bijinya besar) perlu
secara kultur karingan, yaitu sel-sel kompeten (mampu beregenerasi) disimpan
dalam temperatur rendah dan dibekukan dalam cairan nitrogen (Kriopreservasi).
Adapun
penelitian penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan suatu lembaga
(BSJ) terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili, dan yam.
4.
Memproduksi senyawa
kimia untuk farmasi, industri makan dan industri kosmetik
Sel-sel
tanaman yang dapat memproduksi senyawa tertentu, ditumbuhkan dalam bioreaktor
besar. Misalnya untuk produksi senyawa antibiotik dari suatu jenis fungi.
Senyawa hasil tersebut bisa didapatkan dari hasil sintesis lengkap; juga dapat
merupakan hasil transformasi oleh enzim dalam sel tanaman. Misalnya pewarna
merah untuk lipstick dari tanaman, yang disebut dengan biolips (produk Kosmetik
Kanebo).
5.
Embryo
rescue
Pemuliaan
tanaman terjadi melalui hibridisasi dan seleksi. Dengan menyilangkan tanaman,
pemulia berusaha untuk menggabungkan karakter terbaik dari 2 tanaman yang
berbeda. Melalui seleksi, pemulia mencoba untuk menyeleksi anakan yang memiliki
kombinasi kualitas yang optimal dari kedua tanaman induk. Proses ini tentu saja
sangat tergantung pada produksi benih viabel. Jika benih viabel tidak terbentuk,
tidak akan ada keturunan yang akan diseleksi. Tidak ada anakan tidak berarti
fertilisasi tidak terjadi setelah polinasi. Kemungkinan terjadi keguguran embrio
pada fase dini perkembangan biji, akibat penyebab yang tidak diketahui. Dengan
teknik kultur jaringan, embrio yang belum matang ini dapat diselamatkan (SBW
International, 2008).
Kultur
jaringan untuk mengamankan hibrida unik yang secara konvensional sulit didapat,
misalnya apabila beberapa hari setelah polinasi, embrionya gugur dengan cara
mengkulturkan jaringan embrio tersebut untuk mendapatkan tanaman yang
lengkap/sempurna.
Teknik
penyelamatan embrio (embryo rescue)
mulai dikembangkan tahun 1900an yang memungkinkan benih yang belum matang atau
embrio diselamatkan untuk membentuk tanaman baru. Ini biasanya dilakukan untuk
benih – benih yang memiliki masa dormansi yang panjang. Belakangan ini juga
berkembang teknik penyelamatan bakal biji yang telah terserbuki tapi tidak
pernah menghasilkan benih viabel. Penyelamatan embrio banyak dilakukan untuk memperoleh
hibrida interspesifik dan intergenerik. Misalnya pada kentang dan berbagai
tanaman hias.
D. Prinsip
Dasar Kultur Jaringan
Prinsip dasar
kultur jaringan berpegangan pada teori sel dari Schwan dan Schleiden pada tahun
1838. Teori sel atau yang lebih dikenal dengan teori totipotensi menyatakan
bahwa setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat
fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh
jika kondisinya sesuai. Sel-sel tersebut merupakan kesatuan biologis terkecil
yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan berbagai aktivitas hidup, seperti:
metabolisme, reproduksi, partumbuhan dan beregenerasi. Selain prinsip dasar
tersebut, prinsip dasar lainnya adalah:
·
Perbayakan
tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman (pucuk muda, batang muda,
daun muda, kotiledon, hipokotil, endosperm, ovari muda, anther, embrio, dll).
·
Pengisolasian
atau pemisahan bagian tanaman yang
dipergunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan tanaman (eksplan) dari
induknya.
·
Menumbuhkan
dan mengembangkan bagian tanaman tersebut dalam media yang kondisinya steril
dan mampu mendorong pertumbuhan bagian tanaman menjadi tanaman yang sempurna. Dalam
media pertumbuhan dibutuhkan nutrisi dan zat pengatur tumbuh yang cukup untuk
mendukung tanaman yang dikultur menjadi tanaman utuh atau lengkap.
Teknik kultur jaringan juga dilakukan atas dasar
prinsip-prinsip totipotensi sel, pengaturan regenerasi akar dan pucuk oleh
hormon, organogenesis atau embryogenesis, serta kompetensi dan determinasi
inisisasi eksplan (Zulkarnain, 2009).
·
Totipotensi
sel
Totipotensi sel merupakan suatu konsep yang
menyatakan bahwa setiap sel hidup memiliki potensi genetik untuk menghasilkan
suatu organisme lengkap. Istilah totipotensi digunakan untuk menunjukan kapasitas
genetik dari sel-sel tanaman yang berada pada tahap perkembangan uninukleat
untuk beregenerasi menjadi tanaman lengkap , baik secara langsung maupun
melalui suatu fase kalus.
·
Regenerasi
pucuk dan akar akibat pengaruh hormon
Regenerasi merupakan fenomena tumbuhnya tanaman dari
sel-sel jaringan, organ, meristem, atau embrio zigot yang dikulturkan secara in vitro. Regenarsi pucuk dan akar dapat
terjadi akibat adanya hormon tanaman atau yang dikenal dengan zat-zat pengatur
tumbuh terutama auksin dan sitokinin. Auksin merupakan suatu kelompok senyawa
organik yang merangsang pemanjangan pucuk, sedangkan sitokinin adalah kelompok
senyawa organik yang meningkatkan pembelahan sel di dalam jaringan tanaman di
bawah kondisi bioassay tertentu serta mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman dengan mekanisme yang serupa. Pemberian auksin dan sitokinin merupakan
tindakan yang sangat penting untuk mengatur pembelahan, pemanjangan, dan
diferensiasi sel serta pembentukan organ taanaman di dalam sistem kultur jaringan.
Zat pengatur tumbuh lain yang diperlukan adalah giberelin (GA) terutama GA3.
Selain GA ada pula asam absisat (ABA) yang terkadang diberikan pula pada medium
kultur.
·
Organogenesis
dan Embriogenesis
Organogenesis adalah suatu proses dimana pucuk atau
akar adventif berkembang dari dalam massa sel kalus. Embrio genesis adalah
fenomena berkembangnya sel-sel menyerupai embrio yang disebut embrioid pada
media kultur suspensi. Perkembangan embrioid terjadi juga pada kultur spora.
·
Kompetensi
dan Determinasi
Kontrol terhadap proses perkembangan jaringan pada
kultur in vitro erat kaitannya dengan kompetensi dan determinasi. Istilah
kompetensi digunakan untuk menunjukkan kemampuan internal dari suatu sel atau
jaringan tertentu untuk berkembang sedemikian rupa melalui serangkaian program
seluler endogen atau memori. Perkembangannya menjadi sel, jaringan, atau organ
yang spesifik memerlukan keterlibatan faktor-faktor hormon dan/atau lingkungan
yang spesifik. Sel atau jaringan yang memiliki kompetensi, selanjutnya mengalami
determinasi yang arah perkembangannya bersifat tidak dapat balik. Pada
perbanyakan tanaman secara in vitro,
kompetensi dan determinasi menentukkan apakah sel atau jaringan yang mengalami
embryogenesis atau organogenesis, dan apakah pembentukkan akar, pucuk ataupun
bunga dapat diinisiasi.
E. Tipe
– Tipe Dasar Kultur Jaringan (Zulkarnain, 2009)
1.
Kultur
Meristem
Teknik kultur
jaringan ini menggunakan potongan tunas yang sangat kecil, terdiri atas satu
kubah meristem dan beberapa primordia daun. Tipe kultur ini biasanya
dimanfaatkan untuk mendapatkan tanaman bebas virus dari bahan induk yang
terinfeksi. Pertama kali eliminasi virus dari tanaman Dahlia menggunakan kultur meristem melalui pengkulturan ujung
meristem dari tanaman Dahlia yang
terinfeksi dan berhasil didapatkan pucuk – pucuk adventif bebas virus. Kemudian
pucuk – pucuk adventif yang bersih ini
kemudian akan disambungkan pada tenaman sehat menggunakan teknik sambung mikro
(micrografting) untuk menghasilkan tanaman bebas virus. Kultur jaringan penting
bagi upaya perbanyakan tanaman secara vegetatif karena sifat – sifat genetik
jaringan meristem yang stabil sehingga memungkinkan untuk dihasilkannya tanaman
baru dengan sifat – sifat genetik yang identik dengan induknya.
2.
Proliferasi
Tunas Aksilar
Proliferasi tunas
aksilar diterapkan secara luas pada spesies tanaman Angiospermae. Tipe kultur
jaringan ini menggunakan tunas – tunas terminal dan lateral yang proliferasi
tunas aksilarnya dipacu dan pertumbuhan tunas terminalnya ditekan. Keuntungan
pemanfaatan proliferasi tunas aksilar dari meristem, ujung pucuk, atau tunas
sebagai sarana regenerasi karena tunas – tunas tersebut telah berpoliferasi
secara in vivo. Yang diperlukan hanya
pemanjangan tunas dan diferensiasi akar untuk mendapatkan tanaman lengkap.
Sebaliknya organogenesis dan embriogenesis secara in vitro harus melewati perubahan-perubahan perkembangan yang
biasanya melibatkan pembentukan kalus sehingga seringkali menimbulkan mutasi
genetik pada propagula yang diregenerasikannya.
3.
Induksi
Pucuk Adventif
Pucuk adventif
ditujukan pada pucuk-pucuk yang muncul dari setiap bagian tanaman, selain
ketiak daun dan ujung pucuk. Induksi pucuk adventif termasuk inisiasi
perkembangan pucuk adventif dari eksplan, maupun kalus yang dihasilkan eksplan
sebagai akibat adanya perlukaan dan perlakuan zat pengatur tumbuh. Pada
sejumlah spesies tanaman, perbanyakan melalui induksi pucuk adventif
menghasilkan regenerasi yang jauh lebih besar daripada metode perbanyakan
vegetatif secara konvensional. Induksi pucuk adventif memiliki potensi yang
sangat besar, namun ada beberapa hambatan yang berkaitan dengan aplikasi teknik
ini yaitu sulitnya mendapatkan duplikat genetik yang identik (true-to-type) dan adanya variasi pada
sifat pertumbuhan tanaman yang diregenerasikan.
4.
Organogenesis
Organogenesis merupakan proses bagaimana
pucuk dan/atau akar adventif berkembang dari masa kalus. Proses tersebut
berlangsung setelah suatu periode pertumbuhan kalus. Tanaman-tanaman yang
diregenerasikan dari kultur kalus dan kultur sel memperlihatkan ekspresi
genetik yang tidak stabil seperti poliploidi, aneuploidi dan
perubahan-perubahan pada struktur kromosom yang merupakan permasalahan umum
pada kultur kalus dan kultur sel.
5.
Embriogenesis
Somatik
Istilah ini digunakan
untuk menyatakan perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif yang
dihasilkan dari berbagai sumber eksplan yang ditumbuhkan pada sistem kultur
jaringan. Embriogenesis somatik merupakan teknik yang paling menjanjikan untuk
perbanyakan dalam waktu cepat pada tanaman pertanian. Keuntungan yang nyata
dari embriogenesis somatik adalah embrio-embrio somatik yang dihasilkan
bersifat bipolar, menghasilkan embrio dalam jumlah yang besar dalam satu wadah
kultur, dan sejumlah besar embrio dapat dipindahkan dengan mudah ke dalam wadah
yang sesuai untuk ditumbuhkan menjadi tanaman lengkap.
F. Alat-Alat
dalam Teknik Kultur Jaringan (Zulkarnain, 2009)
1. Pengukur Keasaman Medium (PH meter)
Alat ini digunakan
untuk mengukur keasaman medium dapat menggunakan pHmeter merek Corning tipe
220.
2. Autoklaf
Autoklaf digunakan
untuk mensterilisasi alat dan bahan sebelum digunakan dalam proses kultur
jaringan. Bahan yang biasanya perlu disterilisasi dahulu yaitu medium.
3.
Laminar Air Flow Cabinet (LAFC)
Alat ini digunakan sebagai tempat menanamkan eksplan.
Pada alat ini terdapat bagian-bagian berupa lampu UV (ultraviolet), lampu neon,
filter High Eficiency Particle Absorbent (HEPA),
dan jarum penunjuk atau pengatur kekuatan hembusan angin. Alat ini juga disebut
sebagai Laminar Air Flow Cabinet karena
ke dalamnya dialirkan angina dengan arah lurus ke arah luar agar menghembus
spora-spora jamur yang mungkin beterbangan sehingga tidak memasuki botol kultur
pada saat penanaman.
4. Neraca Analitik
Berfungsi untuk
mengukur massa dari bahan-bahan yang akan digunakan dalam proses kultur
jaringan.
5.
Hot Plate dengan Pengaduk Bermagnet
Alat tersebut fungsinya
sama seperti kompor yaitu untuk memasak atau memanaskan medium dalam pembuatan
media padat. Alat ini juga berfungsi sekaligus dapat mengaduk medium yang dimasak karena dilengkapi pengaduk
bermagnet.
6. Shaker
Adalah suatu alat yang
sering digunakan pada kultur dengan medium cair. Fungsinya adalah sebagai meja
penggojok untuk memberikan aerasi yang baik pada kultur.
7.
Inkubator
Alat ini dapat berfungsi sebagai ruang kultur dengan
pengaturan suhu yang sesuai dengan keinginan.
8.
Mikroskop
Fotomikrografi
Mikroskop ini penting
untuk mengamati struktur mikroskopis, seperti anatomi jaringan tanaman,
jaringan kalus yang tumbuh dari eksplan, ataupun struktur sel dan mikrospora.
Selain berfungsi untuk pengamatan biasa, objek yang berada di bawah lensa dapat
direkam atau difoto untuk keperluan
dokumentasi atau sebagai bagian dari data percobaan karena mikroskop ini
dilengkapi dengan kamera.
9.
Mikroskop
Diseksi
Fungsi mikroskop ini
adalah untuk mengamati struktur kalus ataupun keadaan kultur dengan lebih
jelas. Alat ini juga sering digunakan pada kultur meristem, yakni sebagai alat
bantu di dalam memotong atau mendapatkan jaringan meristem.
G. Tahapan
Kerja
Langkah
Kerja Kultur Jaringan Tumbuhan
1.
Pembuatan Media
Media merupakan faktor utama dalam
perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung
dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya
terdiri dari garam mineral unsur hara makro dan unsur hara mikro, vitamin, dan
zat pengatur tumbuh (hormon). Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan
seperti agar, gula, arang aktif, dan bahan organik lainnya .Media yang sudah
jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan
juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya menggunakan autoklaf. Berikut
adalah jenis-jenis media yang dapat digunakan untuk kultur jaringan tanaman:
Berdasarkan asalnya, media dibagi
menjadi 2, yaitu:
a. Media alami
Media
alami merupakan media yang berasal dari cairan jaringan embrio dan medium
plasma darah. Plasma darah merupakan komponen terbesar dalam darah, karena
lebih dari separuh darah mengandung plasma darah. Untuk bahan alami ini masih
digolongkan ke dalam tiga kategori lagi, yakni:
1) Koagulat misalnya
koagulan plasma darah dan kolagen
2) Cairan biologis
misalnya berupa serum
3) Ekstrak jaringan
misalnya berupa ekstrak embrio
b. Media Sintetik
Media sintetik
merupakan media yang dibuat secara kimia, misalnya DMEM (Dulbeccoir
M'odp'ied Eagle Medium) dan RPMI (Roswell
Park Memorial Institute medium).
Berdasarkan kebutuhannya media buatan
dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Minimum essential medium (MEM), yaitu
medium dasar yang tersusun atas asam amino esensial, vitamin dan BSS.
2) Medium pemeliharaan
(Maintenance medium/MM), yaitu medium
yang digunakan untuk memelihara kehidupan sel dalam metaboisme renda dan jangka
waktu yang cukup lama. Medium ini terdiri dari Minimum essential medium (MEM) dan serum berkonsentrasi rendah
(2-5%).
3) Medium penumbuh (growth medium) yaitu, medium yang
diperkaya dengan nutrien-nutrien untuk menumbuhkan kultur sel secara cepat,
medium ini ditambahkan serum cukup banyak (10 – 20 %).
2. Inisiasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan atau bahan tanam
dari bagian tanaman indukan untuk kemudian dikulturkan. Bagian tanaman yang
sering kali digunakan untuk kegiatan kultur jaringan ialah tunas, ujung akar,
bunga, serbuk sari dan batang.
3. Sterilisasi
Steril artinya terbebas dari sumber-sumber kontaminan
penyebab kontaminasi. Keseluruhan kegiatan dalam kultur jaringan harus
dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar
flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi peralatan
dilakukan dengan cara menyemprotkan alkohol secara merata pada alat-alat yang
akan digunakan. Selain eksplan dan peralatan serta tempat yang juga harus
melalui proses sterilisasi adalah pekerja yang akan melakukan kegiatan kultur.
4. Multiplikasi
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon
tanaman dengan menanam eksplan atau propagul pada media. Media pada multiplikasi
biasanya disesuaikan dengan kebutuhan yang akan dicapai. Contohnya untuk
menumbuhkan tunas-tunas pada media tersebut dapat ditambahkan zat pengatur
tumbuh golongan sitokinin. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk
menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan.
Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan
ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
5. Pengakaran
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan
menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan
yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Untuk perakaran digunakan media MS +
NAA. Proses perakaran pada umumnya berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas
yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai bibit cukup kuat untuk ditanam
dilapangan. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan
perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun
jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna
putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
6. Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah kegiatan
mengadaptasikan tanaman atau mengkondisikan tanaman dari yang semula kondisinya
terkendali ke kondisi yang tak terkendali, untuk menjadi tanaman yang autotrof.
Aklimatiasi dilakukan dengan cara memindahkan eksplan keluar dari ruangan
aseptik ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu
dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara
luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat
rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu
beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan
dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan
bibit generatif. Aklimatisasi. Dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau
tempat pesemaian, yang kondisinya dapat dikendalikan.
H. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Keberhasilan Teknik Kultur Jaringan (Zulkarnain, 2009)
a.
Seleksi
Bahan Eksplan
Seleksi bahan
eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan kultur
jaringan. Tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan
yaitu genotipe, umur dan kondisi fisiologis bahan tersebut.
Walaupun tanaman
dapat diperoleh dari sejumlah besar genotipe, kemampuan regenerasi setiap
genotipe sangat berbeda. Pengaruh genotipe pada proliferasi sel dapat dilihat
pada kapasitas regeneratifnya. Pada umumnya tanaman dikotil lebih mudah
berproliferasi pada kultur in vitro daripada
tanaman monokotil. Selain itu tanaman Gymnospermae memiliki kapasitas
regeneratif yang lebih terbatas dibandingkan dengan tanaman Angiospermae.
Tanaman yang umumnya mudah diperbanyak melalui teknik perbanyakan vegetatif konvensional
akan mudah pula diperbanyak melalui teknik kultur jaringan. Pada umumnya
tanaman monokotil lebih sulit diperbanyak daripada tanaman dikotil baik secara
vegetatif konvensional maupun melalui kultur jaringan.
Jaringan-jaringan
yang sedang aktif tumbuh (jaringan muda dan lunak) pada masa pertumbuhan
merupakan bahan eksplan yang paling baik karena pada umumnya jaringan tersebut
lebih mudah berproliferasi daripada jaringan berkayu atau yang sudah tua.
Jaringan muda biasanya memiliki kapasitas regeneratif yang tinggi dan
seringkali digunakan sebagai bahan penelitian.
Kondisi
fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan kultur jaringan
pada umumnya bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian
generatif. Kondisi fisiologis dari suatu tanaman bervariasi secara alami,
sejalan dengan pertumbuhan tanaman yang melewati fase-fase yang berbeda dan
perubahan kondisi lingkungan. Suatu respons pertumbuhan tertentu di dalam
sistem kultur jaringan merupakan hasil interaksi antara kondisi fisiologis
bahan yang dikulturkan dengan faktor-faktor lingkungan.
Faktor lain yang
mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan adalah ukuran eksplan yang
digunakan. Hal itu penting dalam upaya memproduksi tanaman bebas virus melalui
kultur meristem. Di samping itu ukuran pun menentukan laju kehidupan bahan
eksplan yang dikulturkan. Semakin kecil ukuran eksplan akan semakin kecil pula
kemungkinan terjadinya kontaminasi baik secara internal maupun eksternal, namun
laju kehidupan pun akan rendah. Sebaliknya semakin besar ukuran eksplan akan
semakin besar pula kemungkinan untuk berhasilnya proliferasi, namun kemungkinan
untuk terjadinya kontaminasi mikroorganisme akan semakin besar.
b.
Sterilisasi
Bahan
Kultur jaringan
meliputi penanaman sel atau agregat sel, jaringan, dan organ tanaman pada
medium yang mengandung gula, vitamin, asam-asam amino, garam-garam anorganik,
air, zat pengatur tumbuh dan bahan pemadat. Komposisi medium tumbuh ternyata
sangat menguntungkan pula bagi pertumbuhan cendawan dan bakteri. Bila terjadi
kontaminasi, mikroorganisme akan tumbuh dengan cepat dalam waktu yang singkat
dan menutupi permukaan medium serta eksplan yang ditanam. Selanjutnya
mikroorganisme tersebut akan menyerang eksplan melalui luka-luka akibat
pemotongan dan penanganan pada sterilisasi sehingga mengakibatkan kematian
eksplan. Disamping itu mikroorganisme mengeluarkan senyawa beracun ke dalam
medium kultur yang dapat menyebabkan kematian jaringan. Oleh karena itu, dalam
inisiasi suatu kultur harus diusahakan kultur yang aksenik artinya kultur hanya
dengan satu macam satu organisme yang diinginkan.
Untuk menghilangkan
sumber infeksi, bahan tanaman harus disterilkan sebelum ditanamkan pada medium
tumbuh. Jaringan atau organ yang terinfeksi jamur atau bakteri sistemik hendaknya
dibuang.
c.
Zat
Pengatur Tumbuh
Pada teknik kultur
jaringan, kehadiran zat pengatur tumbuh sangat nyata pengaruhnya. Penerapan
teknik kultur jaringan sangat sulit dilakukan tanpa melibatkan zat pengatur
tumbuh. Adapun zat pengatur tumbuh antara lain : auksin, sitokinin, giberelin,
asam absisat, etilen.
Adapun faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kultur adalah
suhu, cahaya, karbondioksida, oksigen, etilen dan kelembaban.
I.
Keuntungan kultur jaringan
1.
Menghasilkan
jutaan klon dapat dihasilkan dalam waktu singkat dengan jumlah material awal
yang sedikit
2.
Teknik
kultur jaringan menawarkan suatu alternatif bagi spesies-spesies yang resisten
terhadap sistem perbanyakan vegetatif konvensional dengan melakukan manipulasi
terhadap faktor-faktor lingkungan, termasuk penggunaan zat pengatur tumbuh.
3.
Kemungkinan
untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di tingkat internasional. Apabila
ditangani secara hati-hati status aseptik dari bahan tanaman mengurangi
kemungkinan bagi introduksi ataupun penyebaran penyakit tanaman.
4.
Teknik
kultur jaringan tidak tergantung pada musim. Stok tanaman dapat segera
diperbanyak pada sembarang waktu setelah pengiriman ataupun penyimpanan karena
semua proses dilakukan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali di
laboratorium ataupun rumah kaca.
5. Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ
tertentu).
6. Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah.
7. Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama,
penyakit, dan deraan lingkungan lainnya.
8. Dapat diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki.
9. Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu
menunggu tanaman dewasa.
J. Kerugian
Kultur Jaringan
1.
Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal
dan sulit.
2.
Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk
bangunan (laboratorium khusus),
peralatan dan perlengkapan.
3.
Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan
perbanyakan kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan.
4.
Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh.
5.
Mengancam keanekaragaman hayati.
III.
PENUTUP
Perbanyakan tumbuhan atau perbanyakan bibit tumbuhan
secara besar-besaran kadang–kadang sangat diperlukan. Namun perbanyakan
tumbuhan dengan teknik konvensional seringkali menghadapi kendala teknis,
lingkungan maupun waktu. Sebagai contoh perbanyakan tanaman dengan menggunakan
biji memerlukan waktu yang relatif lama dan seringkali hasilnya tidak seperti
tanaman induknya. Kendala lain yang juga sering muncul adalah gangguan alam,
baik yang disebabkan oleh jasad hidup, misalnya hama dan penyakit maupun
cekaman lingkungan yang dapat menggangu keberhasilan perbanyakan tanaman di
lapangan. Sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan terutama bidang
teknologi, kendala-kendala tersebut dapat diatasi antara lain melalui teknik kultur jaringan.
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk
mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel,
jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga
bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman
lengkap kembali. Kultur jaringan atau biakan jaringan sering disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan
jaringan atau bagian dari individu secara buatan yang dilakukan di luar
individu yang bersangkutan. Kultur in vitro memiliki banyak manfaat namun
kultur in vitro juga memiliki kerugian salah satunya seperti mengancam
keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, nampaknya kecanggihan teknologi
saat ini selain memberikan manfaat tapi menghasilkan pula kerugian yang
merupakan masalah yang harus dicarikan solusinya. Ini semua menjadi tugas kita
semua untuk memberikan solusi bermanfaat agar dapat memecahkan masalah
tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad, Tri Hanggono. 2009. Satu Abad
Kultur Sel dan Jaringan: Perkembangan Teknologi dan Implementasinya. Diakses
dari: http://www.mkb-online.org/index.php?option=com_content&view=article&id=221:satu-abad-kultur-sel-dan-jaringan-perkembangan-teknologi-dan-implementasinya&catid=1:kumpulan-artikel&Itemid=55.
26/02/2012. 06:31 WIB.
Anonim. Tanpa tahun. Pengertian Kultur Jaringan. Diakses dari :
http://eshaflora.com/index.php.
20/02/2012. 14:53 WIB
Anonim. Tanpa tahun. Perbanyakan Tanaman Dengan Kultur Jaringan.
Diakses dari: http://www.ideelok.com/budidaya-tanaman/perbanyakan-tanaman-dengan-kultur-jaringan.
20/02/2012. 14:43 WIB.
Campbell, et all. 2006. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
Hendaryono, Daisy. Wijayani, Ari.
1994. Teknik Kultur Jaringan.
Yogyakarta : Kanisus.
Nugroho, L. Hartanto, dkk. 2004. Biologi Dasar. Jakarta: Penebar Swadaya.
Prahardini, P.E.R. Aplikasi Kultur Jaringan. Diakses dari :
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/pebi4527/M1.swf.
20/02/2012. 14:33 WIB.
Yuwono, Tribowo.
2006. Bioteknologi Pertanian.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.