Rabu, 14 Maret 2012

Kultur Jaringan Tanaman


MAKALAH KULTUR JARINGAN
BIDANG PERTANIAN
Ditujukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Biologi Terapan

I.                  PENDAHULUAN
Ciri-ciri makhluk hidup salah satunya adalah mampu bereproduksi sehingga menghasilkan keturunan yang akan melestarikan jenisnya di masa depan. Setiap makhluk hidup melakukan reproduksi dengan berbagai cara. Dapat dengan cara seksual yaitu melibatkan dua tipe sel kelamin yang berbeda sehingga terjadilah fertilisasi membentuk zigot, dan zigot selanjutnya akan tumbuh menjadi keturunan yang fertil. Selain itu terdapat pula cara reproduksi aseksual yaitu tidak melibatkan sel kelamin.
Reproduksi aseksual atau vegetatif ini kebanyakan dilakukan oleh tanaman dan oleh beberapa hewan primitif (masih sederhana) tapi tidak termasuk manusia. Reproduksi aseksual pada tumbuhan merupakan proses perbanyakan vegetatif dengan meggunakan organ vegetatif misalnya talus, rhizoma, bulbus atau umbi, stek batang atau akar, menggunakan daun dan cangkok. Perbanyakan vegetatif ini baik pada organisme uniseluler maupun multiseluler (lumut, paku, dan tumbuhan berbiji) dihasilkan organisme baru yang serupa (L. Hartanto Nugroho, dkk, 2004).  
Pada bidang pertanian, perbanyakan tumbuhan atau perbanyakan bibit tumbuhan secara besar-besaran kadang–kadang sangat diperlukan. Namun perbanyakan tumbuhan dengan teknik konvensional seringkali menghadapi kendala teknis, lingkungan maupun waktu (Tribowo Yuwono, 2006). Sebagai contoh perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji memerlukan waktu yang relatif lama dan seringkali hasilnya tidak seperti tanaman induknya. Kendala lain yang juga sering muncul adalah gangguan alam, baik yang disebabkan oleh jasad hidup, misalnya hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan yang dapat menggangu keberhasilan perbanyakan tanaman di lapangan. Sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan terutama bidang teknologi, kendala-kendala tersebut dapat diatasi  antara lain melalui teknik kultur jaringan.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengertian kultur jaringan, tujuan dan manfaat, tahapan kerja, kekurangan dan keuntungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses kultur jaringan, maka kami membuat makalah ini.

II.               ISI

A.      Pengertian Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Kultur jaringan atau biakan jaringan sering juga disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan. In vitro berasal dari bahasa Latin yang artinya "di dalam kaca". Jadi Kultur in vitro dapat diartikan sebagai bagian jaringan yang dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Secara teoritis teknik kultur jaringan dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan, hewan, bahkan juga manusia, karena berdasarkan teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), bahwa setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi individu lengkap. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut, setiap sel berasal dari satu sel.
Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefsel cultuus atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya, jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya.
Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya jika menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan untuk kultur jaringan. Sebab jaringan meristem keadaannya selalu membelah sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang membantu pembelahan.
Usaha pengembangan kultur jaringan merupakan usaha perbanyakan vegetatif tanaman yang dapat dikatakan masih baru. Namun, saat ini sudah banyak sekali penemuan – penemuan tentang ilmu pengetahuan kultur jaringan dalam bidang pertanian, biologi, farmasi, kedokteran dan sebagainya. Di bidang farmasi, teknik kultur jaringan sangat menguntungkan karena dapat menghasilkan metebolit sekunder untuk keperluan obat – obatan dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat.
Pada prinsipnya kultur jaringan merupakan dua kegiatan utama. Pertama, yaitu mengisolasi atau memisahkan bagian tanaman dari tanaman induk. Kedua, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan bagian tanaman tersebut di dalam media yang kondisinya steril dan mampu mendorong pertumbuhan bagian tanaman menjadi tanaman yang sempurna.
Contoh Kultur Jaringan Tanaman Yang Telah Dilakukan :
Tanaman jahe (Zingiber officinale), touki (Angelica acutiloba), kapolaga (Eletaria cardamomum), Mentha sp., Geranium (Pelargonium graveolens dan P.tomentosum), panili (Vanilla planifolia), abaka (Musa textilis), nilam (Pogostemon cabin), rami (Boechmeria nivea), lada (Piper nigrum), pyrethrum (Chrysanthemum cinerarifolium), gerbera (Gerbera jamesonii), seruni (Chrysanthemum morifolium), pulasari (Alyxia steliata), pule pandak (Rauwolfia serpentina), temu putri (Curcuma petiolata), purwoceng (Pmpinella pruatjan), inggu (Ruta angustifolia), daun dewa (Gynura procumbens), beberapa tanaman pisang (Musa sp.) dan jati (Tectona grandis).



B.       Sejarah Singkat Kultur Jaringan
Prinsip dasar kultur jaringan berpegangan pada teori sel dari Schwan dan Schleiden pada tahun 1838. Teori sel atau yang lebih dikenal dengan teori totipotensi menyatakan bahwa setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh jika kondisinya sesuai. Teori ini menjadi dasar dari spekulasi Haberlandt pada awal abad ke-20 yang menyatakan bahwa jaringan tanaman dapat diisolasi dan dikultur hingga berkembang dengan tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya. Namun teknik kultur jaringan yang diungkapkan pada teori tersebut mengalami kegagalan. Tetapi pada tahun 1907-1909 Harrison, Burrows dan Carrel berhasil mengkulturkan jaringan hewan dan manusia secara in vitro (Zulkarnain, 2009).
Kultur jaringan tanaman pertama kali berhasil dilakukan oleh White pada tahun 1934 yakni kultur akar tanaman tomat. Pada tahun 1939, White melaporkan keberhasilannya dalam membuat kultur kalus dari wortel (animasi kultur kalus wortel) dan tembakau. Pada tahun 1957, tulisan penting Skoog dan Miller dipublikasikan dimana mereka menyatakan bahwa interkasi kuantitatif antara auksin dan sitokinin menentukan tipe pertumbuhan dan morfogenik yang akan terjadi. Penelitian mereka pada tembakau mengindikasikan bahwa perbandingan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi pengakaran, sedangkan rasio sebaliknya akan menginduksi pembentukan tunas. Akan tetapi pola respon ini tidak berlaku universal (Tri Hanggono A.,2009).
Temuan penting lainnya adalah hasil penelitian Morel tentang perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan pada tahun 1960, dan penggunaan yang meluas media kultur dengan konsentrasi garam mineral yang tinggi, dikembangkan oleh Murashige dan Skoog tahun 1962.
Pierik tahun 1997 mengemukakan beberapa peristiwa penting dalam sejarah perkembangan teknik kultur jaringan hingga dekade 1980-an, yaitu:

Tahun
Peristiwa
1892
Ditemukan fenomena sintesis senyawa-senyawa pembentuk organ yang didistribusikan secara polar di dalam tanaman.
1902
Usaha pertama aplikasi kultur jaringan tanaman.
1904
Usaha pertama aplikasi kultur embrio sejumlah tanaman Cruciferae.
1909
Fusi protoplasma tanaman namun produk yang dihasilkan mengalami kegagalan untuk hidup.
1922
Perkecambahan in vitro biji anggrek secara asimbiosis dan kultur in vitro ujung akar.
1925
Aplikasi kultur embrio pada tanaman Linum hasil silang antarspesies.
1929
Kultur embrio Linum untuk menghindari inkompatibilitas persilangan.
1934
Kultur in vitro jaringan kambium dari sejumlah tanaman pohon dan perdu mengalami kegagalan karena tidak adanya keterlibatan auksin dan keberhasilan kultur akar tanaman tomat.
1936
Kultur embrio sejumlah tanaman gymnospermae.
1939
Keberhasilan menumbuhkan kultur kalus secara kontinu.
1940
Kultur in vitro jaringan cambium dari tanaman Ulmus untuk mempelajari pembentukan tunas adventif.
1941
Air kelapa (yang mengandung faktor pembelahan sel) untuk pertama kalinya digunakan pada kultur embrio tanaman Datura dan kultur in vitro jaringan tumor crown-gall.
1944
Untuk pertama kalinya kultur in vitro tembekau digunakan pada penelitian pembentukan tunas adventif.
1945
Budidaya potongan tunas tanaman Asparagus secara in vitro.
1946
Untuk pertama kalinya diperoleh tanaman Lupinus dan Tropaeolum dari kultur pucuk.
1948
Pembentukan akar dan tunas adventif tanaman tembakau ditentukan oleh rasio auksin : adenine.
1950
Regenerasi organ tanaman dari jaringan kalus Sequoia sempervirens.
1952
Aplikasi sambung mikro (micrografting) untuk pertama kalinya.
1953
Produksi kalus haploid tanaman Ginkgo biloba dari kultur serbuk sari.
1954
Pengkajian terhadap perubahan – perubahan kariologi dan sifat – sifat kromosom pada kultur endosperm tanaman jagung.
1955
Penemuan kinetin yaitu suatu hormone perangsang pembelahan sel.
1956
Realisasi pertumbuhan kultur di dalam sistem multiliter untuk menghasilkan metabolit sekunder.
1957
Ditemukannya pengaturan pembentukan organ (akar dan pucuk) dengan mengubah rasio antara auksin dan sitokinin.
1958
Regenerasi embrio somatic secara in vitro dari jaringan nuselus tanaman Citrus ovules  dan regenerasi proembrio dari massa kalus dan suspensi sel tanaman wortel.
1959
Publikasi buku pegangan mengenai kultur jaringan tanaman untuk pertama kali.
1960
·         Keberhasilan pembuahan in vitro pada Papaver rhoeas untuk pertama kalinya.
·         Degradasi dinding sel secara enzimatik untuk memperoleh protoplas dalam jumlah besar.
·         Perbanyakan vegetatif tanaman anggrek melalui kultur meristem.
·         Filtrasi suspensi sel dan isolasi sel tunggal.
1962
Pengembangan medium dasar Murashige dan Skooge (MS).
1964
Produksi tanaman Datura haploid dari kultur serbuk sari untuk pertama kalinya dan regenerasi tunas dan akar pada jaringan kalus tanaman Populus tremuloides.
1965
Induksi pembungaan secara in vitro  pada tanaman tembakau dan diferensiasi tanaman tembakau dari isolasi sel tunggal pada kultur mikro.
1967
Induksi pembentukan bunga pada Lunaria annua dengan vernalisasi secara in vitro dan produksi tanaman haploid dari kultur serbuk sari tanaman tembakau (Nicotiana tabacum).
1969
Analisis kariologi tanaman yang diregenerasikan dari kultur kalus tembakau dan keberhasilan isolasi protoplas dari kultur suspense Haplopappus gracilis untuk pertama kalinya.
1970
·         Seleksi mutan biokimia secara in vitro.
·         Pemanfaatan kultur embrio untuk menghasilkan barley monoploid.
·         Keberhasilan peleburan protoplas untuk pertama kalinya
1971
Keberhasilan regenerasi tanaman dari kultur protoplas untuk pertama kalinya.
1972
Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada dua spesies Nicotiana.
1973
Sitokinin diketahui mampu memecahkan dormansi pada eksplan jaringan kapitulum tanaman Gerbera.
1974
·         Induksi percabangan aksilar oleh sitokinin pada eksplan tunas tanaman Gerbera.
·         Regenerasi Petunia hybrid haploid dari kultur protoplas.
·         Diketahui bahwa peleburan protoplas haploid dapat dilakukan sehingga mendukung hibridisasi.
·         Biotransformasi pada kultur jaringan tanaman.
·         Penemuan Ti-plasmid pada Agrobacterium sebagai senyawa penginduksi pembentukan tumor.
1975
Seleksi positif terhadap kultur talus tanaman jagung yang resisten terhadap Helminthosporium maydis.
1976
·         Inisiasi pucuk dari eksplan tunas tanaman anyelir yang berasal dari penyimpanan pada suhu rendah (kreopreservasi).
·         Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada tanaman Petunia hybrida dan P.parodii.
·         Sintesis dan perombakan oktopin dan nopalin diketahui dikontrol secara genetis oleh Ti-plasmid Agrobacterium tumefaciens.
1977
Keberhasilan integrasi DNA Ti-plasmid dari Agrobacterium tumefaciens pada tanaman.
1978
Hibridisasi somatik tomat dan kentang.
1979
Pengembangan prosedur co-cultivation untuk transformasi protoplas tanaman dengan Agrobacterium.
1980
Pemanfaatan sel untuk biotransformasi digitoksin menjadi digoksin.
1981
Pengenalan istilah variasi somaklon atau keragaman somaklon dan isolasi auksotrof melalui skrining berskala besar terhadap koloni sel yang diperoleh dari protoplas haploid tanaman Nicotiana plumbaginifolia dengan perlakuan mutagen.
1982
Protoplas dapat bergabung dengan DNA telanjang sehingga memungkinkan untuk dilakukannya transformasi dengan isolasi DNA.
1983
Hibridisasi sitoplasma antargenus pada tanaman bit dan Brassica napus.
1984
Trasformasi sel tanaman dengan DNA plasmid.
1985
Infeksi dan transformasi potongan daun dengan Agrobacterium tumefaciens dan regenerasi tanaman yang mengalami transformasi.
Sumber: Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.
Untuk mempelajari teknik dasar kultur jaringan diperlukan pemahaman dasar tentang anatomi, histologi, fisiologi sel, dan prinsip dasar biokimia. Perkembangan ilmu biologi molekular menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara biologi molekular dan kultur jaringan. Saling bergantungnya perkembangan masing-masing teknologi ini sukar untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi kultur jaringan dan mulai berkembangnya teknologi biologi molekular. Perkembangan teknologi kultur jaringan kini banyak diarahkan untuk dapat memberikan simulasi proses biologis yang terjadi pada tubuh manusia, sehingga tidak hanya digunakan untuk mempelajari proses atau mekanisme yang terjadi pada sel, namun juga interaksi yang terjadi antara sel dan lingkungan yang dapat diatur menyerupai berbagai keadaan fisiologis ataupun patologis (Tri Hanggono A.,2009).
C.      Tujuan dan Manfaat Kultur Jaringan
Kultur jaringan saat ini memiliki banyak tujuan dalam pemanfaatannya. Semakin hari tujuan dilakukannya kultur jaringan ini semakin berkembang. Berikut beberapa tujuan dari kultur jaringan dalam pemanfaatannya (Zulkarnain, 2009):
1.    Menyediakan bibit bebas virus/penyakit
Banyak virus yang tidak menampakkan gejalanya, namun bersifat laten, dan akan dapat mengurangi vigor, kualitas dan kuantitas produksi. Virus dalam tanaman induk merupakan masalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman hortikultura secara konvensional. Morrel & Martin (1952) menemukan bahwa pada daerah meristem apikal, ternyata kandungan virusnya paling rendah bahkan tidak ada. Hal ini mungkin karena virus bergerak melalui sistem pembuluh, sedang daerah tersebut belum ada sistem pembuluhnya, selain itu aktivitas metabolisme tinggi pada daerah tersebut tidak mendukung replikasi virus, juga konsentrasi auksin yang tinggi menghambat multiplikasi.

2.    Membantu program pemuliaan tanaman
Dengan kultur jaringan dapat membantu program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan tanaman yang lebih baik melalui : Keragaman Somaklonal, Kultur Haploid, Embryo Rescue, Seleksi In Vitro, Fusiprotoplas, Transformasi Gen/Rekayasa Genetika Tanaman dll.


3.    Membantu proses konservasi dan preservasi plasma nutfah
Konservasi in vivo dalam bentuk penyimpanan biji dan tanaman hidup (Kebun Raya). Preservasi in vivo dengan cara menyimpan biji. Penyimpanan secara kultur jaringan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal (minimal growth) dan kriopreservasi.
Untuk biji ortodoks dalam ruang dengan temperatur dan kelembaban yang terkendali. Masalahnya pada biji rekalsitran (apalagi yang ukuran bijinya besar) perlu secara kultur karingan, yaitu sel-sel kompeten (mampu beregenerasi) disimpan dalam temperatur rendah dan dibekukan dalam cairan nitrogen (Kriopreservasi).
Adapun penelitian penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan suatu lembaga (BSJ) terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili, dan yam.

4.    Memproduksi senyawa kimia untuk farmasi, industri makan dan industri kosmetik
Sel-sel tanaman yang dapat memproduksi senyawa tertentu, ditumbuhkan dalam bioreaktor besar. Misalnya untuk produksi senyawa antibiotik dari suatu jenis fungi. Senyawa hasil tersebut bisa didapatkan dari hasil sintesis lengkap; juga dapat merupakan hasil transformasi oleh enzim dalam sel tanaman. Misalnya pewarna merah untuk lipstick dari tanaman, yang disebut dengan biolips (produk Kosmetik Kanebo).

5.    Embryo rescue
Pemuliaan tanaman terjadi melalui hibridisasi dan seleksi. Dengan menyilangkan tanaman, pemulia berusaha untuk menggabungkan karakter terbaik dari 2 tanaman yang berbeda. Melalui seleksi, pemulia mencoba untuk menyeleksi anakan yang memiliki kombinasi kualitas yang optimal dari kedua tanaman induk. Proses ini tentu saja sangat tergantung pada produksi benih viabel. Jika benih viabel tidak terbentuk, tidak akan ada keturunan yang akan diseleksi. Tidak ada anakan tidak berarti fertilisasi tidak terjadi setelah polinasi. Kemungkinan terjadi keguguran embrio pada fase dini perkembangan biji, akibat penyebab yang tidak diketahui. Dengan teknik kultur jaringan, embrio yang belum matang ini dapat diselamatkan (SBW International, 2008).
Kultur jaringan untuk mengamankan hibrida unik yang secara konvensional sulit didapat, misalnya apabila beberapa hari setelah polinasi, embrionya gugur dengan cara mengkulturkan jaringan embrio tersebut untuk mendapatkan tanaman yang lengkap/sempurna.
Teknik penyelamatan embrio (embryo rescue) mulai dikembangkan tahun 1900an yang memungkinkan benih yang belum matang atau embrio diselamatkan untuk membentuk tanaman baru. Ini biasanya dilakukan untuk benih – benih yang memiliki masa dormansi yang panjang. Belakangan ini juga berkembang teknik penyelamatan bakal biji yang telah terserbuki tapi tidak pernah menghasilkan benih viabel. Penyelamatan embrio banyak dilakukan untuk memperoleh hibrida interspesifik dan intergenerik. Misalnya pada kentang dan berbagai tanaman hias.

D.      Prinsip Dasar Kultur Jaringan
Prinsip dasar kultur jaringan berpegangan pada teori sel dari Schwan dan Schleiden pada tahun 1838. Teori sel atau yang lebih dikenal dengan teori totipotensi menyatakan bahwa setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh jika kondisinya sesuai. Sel-sel tersebut merupakan kesatuan biologis terkecil yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan berbagai aktivitas hidup, seperti: metabolisme, reproduksi, partumbuhan dan beregenerasi. Selain prinsip dasar tersebut, prinsip dasar lainnya adalah:
·      Perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman (pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, hipokotil, endosperm, ovari muda, anther, embrio, dll).
·      Pengisolasian atau pemisahan  bagian tanaman yang dipergunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan tanaman (eksplan) dari induknya.
·      Menumbuhkan dan mengembangkan bagian tanaman tersebut dalam media yang kondisinya steril dan mampu mendorong pertumbuhan bagian tanaman menjadi tanaman yang sempurna. Dalam media pertumbuhan dibutuhkan nutrisi dan zat pengatur tumbuh yang cukup untuk mendukung tanaman yang dikultur menjadi tanaman utuh atau lengkap.
Teknik kultur jaringan juga dilakukan atas dasar prinsip-prinsip totipotensi sel, pengaturan regenerasi akar dan pucuk oleh hormon, organogenesis atau embryogenesis, serta kompetensi dan determinasi inisisasi eksplan (Zulkarnain, 2009).
·         Totipotensi sel
Totipotensi sel merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa setiap sel hidup memiliki potensi genetik untuk menghasilkan suatu organisme lengkap. Istilah totipotensi digunakan untuk menunjukan kapasitas genetik dari sel-sel tanaman yang berada pada tahap perkembangan uninukleat untuk beregenerasi menjadi tanaman lengkap , baik secara langsung maupun melalui suatu fase kalus.
·         Regenerasi pucuk dan akar akibat pengaruh hormon
Regenerasi merupakan fenomena tumbuhnya tanaman dari sel-sel jaringan, organ, meristem, atau embrio zigot yang dikulturkan secara in vitro. Regenarsi pucuk dan akar dapat terjadi akibat adanya hormon tanaman atau yang dikenal dengan zat-zat pengatur tumbuh terutama auksin dan sitokinin. Auksin merupakan suatu kelompok senyawa organik yang merangsang pemanjangan pucuk, sedangkan sitokinin adalah kelompok senyawa organik yang meningkatkan pembelahan sel di dalam jaringan tanaman di bawah kondisi bioassay tertentu serta mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan mekanisme yang serupa. Pemberian auksin dan sitokinin merupakan tindakan yang sangat penting untuk mengatur pembelahan, pemanjangan, dan diferensiasi sel serta pembentukan organ taanaman di dalam sistem kultur jaringan. Zat pengatur tumbuh lain yang diperlukan adalah giberelin (GA) terutama GA3. Selain GA ada pula asam absisat (ABA) yang terkadang diberikan pula pada medium kultur.
·         Organogenesis dan Embriogenesis
Organogenesis adalah suatu proses dimana pucuk atau akar adventif berkembang dari dalam massa sel kalus. Embrio genesis adalah fenomena berkembangnya sel-sel menyerupai embrio yang disebut embrioid pada media kultur suspensi. Perkembangan embrioid terjadi juga pada kultur spora.
·         Kompetensi dan Determinasi
Kontrol terhadap proses perkembangan jaringan pada kultur in vitro erat kaitannya dengan kompetensi dan determinasi. Istilah kompetensi digunakan untuk menunjukkan kemampuan internal dari suatu sel atau jaringan tertentu untuk berkembang sedemikian rupa melalui serangkaian program seluler endogen atau memori. Perkembangannya menjadi sel, jaringan, atau organ yang spesifik memerlukan keterlibatan faktor-faktor hormon dan/atau lingkungan yang spesifik. Sel atau jaringan yang memiliki kompetensi, selanjutnya mengalami determinasi yang arah perkembangannya bersifat tidak dapat balik. Pada perbanyakan tanaman secara in vitro, kompetensi dan determinasi menentukkan apakah sel atau jaringan yang mengalami embryogenesis atau organogenesis, dan apakah pembentukkan akar, pucuk ataupun bunga dapat diinisiasi.

E.       Tipe – Tipe Dasar Kultur Jaringan (Zulkarnain, 2009)
1.      Kultur Meristem
Teknik kultur jaringan ini menggunakan potongan tunas yang sangat kecil, terdiri atas satu kubah meristem dan beberapa primordia daun. Tipe kultur ini biasanya dimanfaatkan untuk mendapatkan tanaman bebas virus dari bahan induk yang terinfeksi. Pertama kali eliminasi virus dari tanaman Dahlia menggunakan kultur meristem melalui pengkulturan ujung meristem dari tanaman Dahlia yang terinfeksi dan berhasil didapatkan pucuk – pucuk adventif bebas virus. Kemudian pucuk – pucuk adventif  yang bersih ini kemudian akan disambungkan pada tenaman sehat menggunakan teknik sambung mikro (micrografting) untuk menghasilkan tanaman bebas virus. Kultur jaringan penting bagi upaya perbanyakan tanaman secara vegetatif karena sifat – sifat genetik jaringan meristem yang stabil sehingga memungkinkan untuk dihasilkannya tanaman baru dengan sifat – sifat genetik yang identik dengan induknya.
2.      Proliferasi Tunas Aksilar
Proliferasi tunas aksilar diterapkan secara luas pada spesies tanaman Angiospermae. Tipe kultur jaringan ini menggunakan tunas – tunas terminal dan lateral yang proliferasi tunas aksilarnya dipacu dan pertumbuhan tunas terminalnya ditekan. Keuntungan pemanfaatan proliferasi tunas aksilar dari meristem, ujung pucuk, atau tunas sebagai sarana regenerasi karena tunas – tunas tersebut telah berpoliferasi secara in vivo. Yang diperlukan hanya pemanjangan tunas dan diferensiasi akar untuk mendapatkan tanaman lengkap. Sebaliknya organogenesis dan embriogenesis secara in vitro harus melewati perubahan-perubahan perkembangan yang biasanya melibatkan pembentukan kalus sehingga seringkali menimbulkan mutasi genetik pada propagula yang diregenerasikannya.
3.      Induksi Pucuk Adventif
Pucuk adventif ditujukan pada pucuk-pucuk yang muncul dari setiap bagian tanaman, selain ketiak daun dan ujung pucuk. Induksi pucuk adventif termasuk inisiasi perkembangan pucuk adventif dari eksplan, maupun kalus yang dihasilkan eksplan sebagai akibat adanya perlukaan dan perlakuan zat pengatur tumbuh. Pada sejumlah spesies tanaman, perbanyakan melalui induksi pucuk adventif menghasilkan regenerasi yang jauh lebih besar daripada metode perbanyakan vegetatif secara konvensional. Induksi pucuk adventif memiliki potensi yang sangat besar, namun ada beberapa hambatan yang berkaitan dengan aplikasi teknik ini yaitu sulitnya mendapatkan duplikat genetik yang identik (true-to-type) dan adanya variasi pada sifat pertumbuhan tanaman yang diregenerasikan.
4.      Organogenesis
Organogenesis merupakan proses bagaimana pucuk dan/atau akar adventif berkembang dari masa kalus. Proses tersebut berlangsung setelah suatu periode pertumbuhan kalus. Tanaman-tanaman yang diregenerasikan dari kultur kalus dan kultur sel memperlihatkan ekspresi genetik yang tidak stabil seperti poliploidi, aneuploidi dan perubahan-perubahan pada struktur kromosom yang merupakan permasalahan umum pada kultur kalus dan kultur sel.
5.      Embriogenesis Somatik
Istilah ini digunakan untuk menyatakan perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif yang dihasilkan dari berbagai sumber eksplan yang ditumbuhkan pada sistem kultur jaringan. Embriogenesis somatik merupakan teknik yang paling menjanjikan untuk perbanyakan dalam waktu cepat pada tanaman pertanian. Keuntungan yang nyata dari embriogenesis somatik adalah embrio-embrio somatik yang dihasilkan bersifat bipolar, menghasilkan embrio dalam jumlah yang besar dalam satu wadah kultur, dan sejumlah besar embrio dapat dipindahkan dengan mudah ke dalam wadah yang sesuai untuk ditumbuhkan menjadi tanaman lengkap.

F.       Alat-Alat dalam Teknik Kultur Jaringan (Zulkarnain, 2009)
1.      Pengukur Keasaman Medium (PH meter)
Alat ini digunakan untuk mengukur keasaman medium dapat menggunakan pHmeter merek Corning tipe 220.
2.      Autoklaf
Autoklaf digunakan untuk mensterilisasi alat dan bahan sebelum digunakan dalam proses kultur jaringan. Bahan yang biasanya perlu disterilisasi dahulu yaitu medium.
3.      Laminar Air Flow Cabinet (LAFC)
Alat ini digunakan sebagai tempat menanamkan eksplan. Pada alat ini terdapat bagian-bagian berupa lampu UV (ultraviolet), lampu neon, filter High Eficiency Particle Absorbent (HEPA), dan jarum penunjuk atau pengatur kekuatan hembusan angin. Alat ini juga disebut sebagai Laminar Air Flow Cabinet karena ke dalamnya dialirkan angina dengan arah lurus ke arah luar agar menghembus spora-spora jamur yang mungkin beterbangan sehingga tidak memasuki botol kultur pada saat penanaman.
4.      Neraca Analitik
Berfungsi untuk mengukur massa dari bahan-bahan yang akan digunakan dalam proses kultur jaringan.

5.      Hot Plate dengan Pengaduk Bermagnet
Alat tersebut fungsinya sama seperti kompor yaitu untuk memasak atau memanaskan medium dalam pembuatan media padat. Alat ini juga berfungsi sekaligus dapat mengaduk medium  yang dimasak karena dilengkapi pengaduk bermagnet.
6.      Shaker
Adalah suatu alat yang sering digunakan pada kultur dengan medium cair. Fungsinya adalah sebagai meja penggojok untuk memberikan aerasi yang baik pada kultur.
7.      Inkubator
Alat ini dapat berfungsi sebagai ruang kultur dengan pengaturan suhu yang sesuai dengan keinginan.


8.      Mikroskop Fotomikrografi
Mikroskop ini penting untuk mengamati struktur mikroskopis, seperti anatomi jaringan tanaman, jaringan kalus yang tumbuh dari eksplan, ataupun struktur sel dan mikrospora. Selain berfungsi untuk pengamatan biasa, objek yang berada di bawah lensa dapat direkam atau difoto untuk keperluan  dokumentasi atau sebagai bagian dari data percobaan karena mikroskop ini dilengkapi dengan kamera.
9.      Mikroskop Diseksi
Fungsi mikroskop ini adalah untuk mengamati struktur kalus ataupun keadaan kultur dengan lebih jelas. Alat ini juga sering digunakan pada kultur meristem, yakni sebagai alat bantu di dalam memotong atau mendapatkan jaringan meristem.
G.      Tahapan Kerja
Langkah Kerja Kultur Jaringan Tumbuhan
1.         Pembuatan Media
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral unsur hara makro dan unsur hara mikro, vitamin, dan zat pengatur tumbuh (hormon). Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, arang aktif, dan bahan organik lainnya .Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya menggunakan autoklaf. Berikut adalah jenis-jenis media yang dapat digunakan untuk kultur jaringan tanaman:
Berdasarkan asalnya, media dibagi menjadi 2, yaitu:
a.    Media alami
Media alami merupakan media yang berasal dari cairan jaringan embrio dan medium plasma darah. Plasma darah merupakan komponen terbesar dalam darah, karena lebih dari separuh darah mengandung plasma darah. Untuk bahan alami ini masih digolongkan ke dalam tiga kategori lagi, yakni:
1)   Koagulat misalnya koagulan plasma darah dan kolagen
2)   Cairan biologis misalnya berupa serum
3)   Ekstrak jaringan misalnya berupa ekstrak embrio

b.    Media Sintetik
Media sintetik merupakan media yang dibuat secara kimia, misalnya DMEM (Dulbeccoir M'odp'ied Eagle Medium) dan RPMI (Roswell Park Memorial Institute medium).
Berdasarkan kebutuhannya media buatan dibagi menjadi 3, yaitu:
1)   Minimum essential medium (MEM), yaitu medium dasar yang tersusun atas asam amino esensial, vitamin dan BSS.
2)   Medium pemeliharaan (Maintenance medium/MM), yaitu medium yang digunakan untuk memelihara kehidupan sel dalam metaboisme renda dan jangka waktu yang cukup lama. Medium ini terdiri dari Minimum essential medium (MEM) dan serum berkonsentrasi rendah (2-5%).
3)   Medium penumbuh (growth medium) yaitu, medium yang diperkaya dengan nutrien-nutrien untuk menumbuhkan kultur sel secara cepat, medium ini ditambahkan serum cukup banyak (10 – 20 %). 

2.    Inisiasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan atau bahan tanam dari bagian tanaman indukan untuk kemudian dikulturkan. Bagian tanaman yang sering kali digunakan untuk kegiatan kultur jaringan ialah tunas, ujung akar, bunga, serbuk sari dan batang.

3.    Sterilisasi
Steril artinya terbebas dari sumber-sumber kontaminan penyebab kontaminasi. Keseluruhan kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi peralatan dilakukan dengan cara menyemprotkan alkohol secara merata pada alat-alat yang akan digunakan. Selain eksplan dan peralatan serta tempat yang juga harus melalui proses sterilisasi adalah pekerja yang akan melakukan kegiatan kultur.
4.    Multiplikasi
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan atau propagul pada media. Media pada multiplikasi biasanya disesuaikan dengan kebutuhan yang akan dicapai. Contohnya untuk menumbuhkan tunas-tunas pada media tersebut dapat ditambahkan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.

5.    Pengakaran
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada umumnya berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai bibit cukup kuat untuk ditanam dilapangan. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).

6.    Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah kegiatan mengadaptasikan tanaman atau mengkondisikan tanaman dari yang semula kondisinya terkendali ke kondisi yang tak terkendali, untuk menjadi tanaman yang autotrof. Aklimatiasi dilakukan dengan cara memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptik ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. Aklimatisasi. Dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau tempat pesemaian, yang kondisinya dapat dikendalikan.

H.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Teknik Kultur Jaringan (Zulkarnain, 2009)
a.       Seleksi Bahan Eksplan
Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan kultur jaringan. Tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan yaitu genotipe, umur dan kondisi fisiologis bahan tersebut.
Walaupun tanaman dapat diperoleh dari sejumlah besar genotipe, kemampuan regenerasi setiap genotipe sangat berbeda. Pengaruh genotipe pada proliferasi sel dapat dilihat pada kapasitas regeneratifnya. Pada umumnya tanaman dikotil lebih mudah berproliferasi pada kultur in vitro daripada tanaman monokotil. Selain itu tanaman Gymnospermae memiliki kapasitas regeneratif yang lebih terbatas dibandingkan dengan tanaman Angiospermae. Tanaman yang umumnya mudah diperbanyak melalui teknik perbanyakan vegetatif konvensional akan mudah pula diperbanyak melalui teknik kultur jaringan. Pada umumnya tanaman monokotil lebih sulit diperbanyak daripada tanaman dikotil baik secara vegetatif konvensional maupun melalui kultur jaringan.
Jaringan-jaringan yang sedang aktif tumbuh (jaringan muda dan lunak) pada masa pertumbuhan merupakan bahan eksplan yang paling baik karena pada umumnya jaringan tersebut lebih mudah berproliferasi daripada jaringan berkayu atau yang sudah tua. Jaringan muda biasanya memiliki kapasitas regeneratif yang tinggi dan seringkali digunakan sebagai bahan penelitian.
Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan kultur jaringan pada umumnya bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian generatif. Kondisi fisiologis dari suatu tanaman bervariasi secara alami, sejalan dengan pertumbuhan tanaman yang melewati fase-fase yang berbeda dan perubahan kondisi lingkungan. Suatu respons pertumbuhan tertentu di dalam sistem kultur jaringan merupakan hasil interaksi antara kondisi fisiologis bahan yang dikulturkan dengan faktor-faktor lingkungan.
Faktor lain yang mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan adalah ukuran eksplan yang digunakan. Hal itu penting dalam upaya memproduksi tanaman bebas virus melalui kultur meristem. Di samping itu ukuran pun menentukan laju kehidupan bahan eksplan yang dikulturkan. Semakin kecil ukuran eksplan akan semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kontaminasi baik secara internal maupun eksternal, namun laju kehidupan pun akan rendah. Sebaliknya semakin besar ukuran eksplan akan semakin besar pula kemungkinan untuk berhasilnya proliferasi, namun kemungkinan untuk terjadinya kontaminasi mikroorganisme akan semakin besar.
b.      Sterilisasi Bahan
Kultur jaringan meliputi penanaman sel atau agregat sel, jaringan, dan organ tanaman pada medium yang mengandung gula, vitamin, asam-asam amino, garam-garam anorganik, air, zat pengatur tumbuh dan bahan pemadat. Komposisi medium tumbuh ternyata sangat menguntungkan pula bagi pertumbuhan cendawan dan bakteri. Bila terjadi kontaminasi, mikroorganisme akan tumbuh dengan cepat dalam waktu yang singkat dan menutupi permukaan medium serta eksplan yang ditanam. Selanjutnya mikroorganisme tersebut akan menyerang eksplan melalui luka-luka akibat pemotongan dan penanganan pada sterilisasi sehingga mengakibatkan kematian eksplan. Disamping itu mikroorganisme mengeluarkan senyawa beracun ke dalam medium kultur yang dapat menyebabkan kematian jaringan. Oleh karena itu, dalam inisiasi suatu kultur harus diusahakan kultur yang aksenik artinya kultur hanya dengan satu macam satu organisme yang diinginkan.
Untuk menghilangkan sumber infeksi, bahan tanaman harus disterilkan sebelum ditanamkan pada medium tumbuh. Jaringan atau organ yang terinfeksi jamur atau bakteri sistemik hendaknya dibuang.
c.       Zat Pengatur Tumbuh
Pada teknik kultur jaringan, kehadiran zat pengatur tumbuh sangat nyata pengaruhnya. Penerapan teknik kultur jaringan sangat sulit dilakukan tanpa melibatkan zat pengatur tumbuh. Adapun zat pengatur tumbuh antara lain : auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, etilen.
Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida, oksigen, etilen dan kelembaban.

I.         Keuntungan kultur jaringan
1.      Menghasilkan jutaan klon dapat dihasilkan dalam waktu singkat dengan jumlah material awal yang sedikit
2.      Teknik kultur jaringan menawarkan suatu alternatif bagi spesies-spesies yang resisten terhadap sistem perbanyakan vegetatif konvensional dengan melakukan manipulasi terhadap faktor-faktor lingkungan, termasuk penggunaan zat pengatur tumbuh.
3.      Kemungkinan untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di tingkat internasional. Apabila ditangani secara hati-hati status aseptik dari bahan tanaman mengurangi kemungkinan bagi introduksi ataupun penyebaran penyakit tanaman.
4.      Teknik kultur jaringan tidak tergantung pada musim. Stok tanaman dapat segera diperbanyak pada sembarang waktu setelah pengiriman ataupun penyimpanan karena semua proses dilakukan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali di laboratorium ataupun rumah kaca.
5.      Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu).
6.      Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah.
7.      Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan  lainnya.
8.      Dapat diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki.
9.      Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman dewasa.

J.      Kerugian Kultur Jaringan
1.    Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.
2.    Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan (laboratorium  khusus), peralatan dan perlengkapan.
3.    Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan.
4.    Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh.
5.    Mengancam keanekaragaman hayati.



III.           PENUTUP

Perbanyakan tumbuhan atau perbanyakan bibit tumbuhan secara besar-besaran kadang–kadang sangat diperlukan. Namun perbanyakan tumbuhan dengan teknik konvensional seringkali menghadapi kendala teknis, lingkungan maupun waktu. Sebagai contoh perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji memerlukan waktu yang relatif lama dan seringkali hasilnya tidak seperti tanaman induknya. Kendala lain yang juga sering muncul adalah gangguan alam, baik yang disebabkan oleh jasad hidup, misalnya hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan yang dapat menggangu keberhasilan perbanyakan tanaman di lapangan. Sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan terutama bidang teknologi, kendala-kendala tersebut dapat diatasi  antara lain melalui teknik kultur jaringan.
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Kultur jaringan atau biakan jaringan sering disebut kultur in vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan. Kultur in vitro memiliki banyak manfaat namun kultur in vitro juga memiliki kerugian salah satunya seperti mengancam keanekaragaman hayati.
     Oleh karena itu, nampaknya kecanggihan teknologi saat ini selain memberikan manfaat tapi menghasilkan pula kerugian yang merupakan masalah yang harus dicarikan solusinya. Ini semua menjadi tugas kita semua untuk memberikan solusi bermanfaat agar dapat memecahkan masalah tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Tri Hanggono. 2009. Satu Abad Kultur Sel dan Jaringan: Perkembangan Teknologi dan Implementasinya. Diakses dari: http://www.mkb-online.org/index.php?option=com_content&view=article&id=221:satu-abad-kultur-sel-dan-jaringan-perkembangan-teknologi-dan-implementasinya&catid=1:kumpulan-artikel&Itemid=55. 26/02/2012. 06:31 WIB.
Anonim. Tanpa tahun. Pengertian Kultur Jaringan. Diakses dari :
http://eshaflora.com/index.php. 20/02/2012. 14:53 WIB
Anonim. Tanpa tahun. Perbanyakan Tanaman Dengan Kultur Jaringan. Diakses dari: http://www.ideelok.com/budidaya-tanaman/perbanyakan-tanaman-dengan-kultur-jaringan. 20/02/2012. 14:43 WIB.
Campbell, et all. 2006. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Hendaryono, Daisy. Wijayani, Ari. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta : Kanisus.
Nugroho, L. Hartanto, dkk. 2004. Biologi Dasar. Jakarta: Penebar Swadaya.
Prahardini, P.E.R. Aplikasi Kultur Jaringan. Diakses dari :
Yuwono, Tribowo. 2006. Bioteknologi Pertanian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.